Kasus kebakaran hutan hampir setiap tahun terjadi di Indonesia yang berujung terjadinya musibah kabut asap yang membahayakan kesehatan seperti daerah sebagian Pulau Sumatera dan Kalimantan termasuk berdampak ke negara tetangga malaysia.
Kebakaran hutan juga salah satu penyumbang terjadinya banjir, musnahnya habitat flora-fauna, berkurangnya bahan industri, termasuk berkurangnya sumber air.
Maraknya kebakaran hutan selain karena faktor alam seperti musim kemarau berkepanjangan, sambaran petir, aktivitas vulkanis maupun ground fire (kebakaran yang terjadi dalam lapisan tanah yang biasa memiliki lahan gambut), juga disebabkan oleh kesengajaan manusia berupa pembakaran untuk membuka lahan perkebunan, untuk mengambil alih lahan yang dipersengketakan, protes masyarakat terhadap perusahaan perkebunan, maupun pertimbangan meminimalisir biaya. Kondisi tersebut tentu sangat memprihatinkan bila tidak dilakukan penegakan hukum yang tegas dan maksimal.
Piranti Hukum Mengejar dan Mengganjar Pembakar Hutan
Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) terdapat beberapa langkah hukum dalam menghadapi pembakaran hutan berupa: Pertama, langkah administrasi berupa sanksi teguran, paksaan, pembekuan maupun pencabutan izin lingkungan tanpa menghapus kewajiban untuk memulihkan lingkungan.
Kedua, langkah dituntut secara pidana yang berujung hukuman pidana badan berupa penjara 3 (tiga) sampai 10 (sepuluh) tahun maupun denda berkisar 3 (tiga) miliar sampai 10 (sepuluh) miliar untuk pelaku pembukaan lahan dengan cara membakar baik lingkungan hutan atau bukan;
Ketiga, langkah secara perdata berupa menggugat pelaku pembakaran baik melalui pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (non litigasi) yang bertujuan menuntut ganti rugi dari pelaku pembakaran sebagai realisasi asas pencemar membayar yang ada dalam hukum lingkungan hidup. Selain diharuskan membayar ganti rugi, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk: a) memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan; b) memulihkan fungsi lingkungan hidup; dan/atau c) menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Piranti hukum lain terhadap pelaku kebakaran adalah menggunakan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Kehutanan (UU Kehutanan) yang juga mengatur pemberian sanksi pidana terhadap pembakar hutan selain pembakaran untuk tujuan khusus yang diizinkan oleh yang berwenang berupa pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan denda maksimal 1,5 miliar rupiah.
Sementara upaya hukum melalui gugatan baik melalui pengadilan ataupun di luar pengadilan juga diperkenankan selain perbuatan yang sudah dikategorikan sebagai tindak pidana kehutanan dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti-rugi, dan atau mengenai bentuk tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan oleh pihak yang menyebabkan kerusakan termasuk kewenangan pengadilan untuk menetapkan pembayaran uang paksa atas keterlambatan pelaksanaan tindakan tertentu yang ditetapkan pengadilan setiap hari.
Asas "Strict Liability" Menggugat Pembakar Hutan
Di samping ada kesamaan gugatan dalam UUPPLH dan UU Kehutanan untuk memutuskan kewajiban membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu serta menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan kepada yang kalah gugatan, Hal penting dalam UUPPLH adalah diakomodirnya pertanggungjawaban mutlak (strict liability) atas kerugian yang terjadi terhadap setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan dalam hal ini tentu termasuk kebakaran hutan/ lahan yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan.
Penggunaan strict liability tanpa keharusan penggugat bersusah payah untuk membuktikan unsur kesalahan sebagai dasar pembayaran ganti rugi terlebih dahulu merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam UU Kehutanan meskipun tidak menyebutkan secara jelas terkait asas strict liability namun sebenarnya juga dapat ditafsirkan dari bunyi Pasal 49 yang menegaskan Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.
Penggunaan "Prinsip In Dubio Pro Natura" dalam Mengganjar Pembakar Hutan
Meskipun antara UUPLH dengan UU Kehutanan memiliki mekanisme gugatan dalam upaya menuntut ganti rugi dari pelaku pembakaran namun cakupan UUPLH lebih luas bukan saja hanya membakar lahan hutan namun meliputi lingkungan hidup yang lebih luas dan dengan tegasnya menggunakan prinsip asas strict liability.
Salah satu kasus pembakaran hutan yang menarik perhatian dengan mekanisme UUPLH adalah gugatan kepada PT Arjuna Utama Sawit (PT AUS) atas terjadinya kebakaran hutan di dalam wilayah izin perkebunan sawit yang dimiliki tergugat PT AUS seluas 970.44 ha pada Tahun 2014 di Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Tengah yang diajukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup yang diwakili oleh Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan pada tahun 2018 di Pengadilan Negeri Palangka Raya di mana majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakan PT AUS telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum di lokasi perkebunan seluas 970 ha dan menghukum PT AUS membayar ganti rugi materiil serta biaya pemulihan lingkungan hidup yang akhirnya diperkuat dan inkrah di tingkat Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 3220K/Pdt/2020 tanggal 10 Desember 2020 menjadi ganti rugi sebesar Rp 115.855.407.000,- (seratus lima belas miliar delapan ratus lima puluh lima juta empat ratus tujuh ribu rupiah) serta kewajiban melakukan tindakan pemulihan lingkungan sejumlah Rp 277.120.281.369,00.- (dua ratus tujuh puluh tujuh miliar seratus dua puluh juta dua ratus delapan puluh satu ribu tiga ratus enam puluh sembilan rupiah).
Hal menarik dari pertimbangan majelis hakim selain menggunakan asas pertanggungjawaban mutlak (strict liability) dalam pembuktiannya menghukum PT AUS juga penggunaan prinsip in dubio pro natura, prinsip kehati-hatian. Dilihat dari perjalanannya, prinsip in dubio pro natura pada dasarnya bersinggungan dengan prinsip in dubio pro reo yang mendorong hakim saat mengalami keragu-raguan mengenai suatu hal untuk hakim menjatuhkan hukuman yang ringan terhadap terdakwa namun hal ini berbeda dalam kasus lingkungan hidup di mana asas in dubio pro reo bertransformasi menjadi prinsip in dubio pro natura artinya ketika hakim mengalami keragu-raguan terhadap alat bukti yang ada terutama dalam menentukan besarnya ganti rugi kerusakan lingkungan hidup maka hakim mengedepankan perlindungan lingkungan dalam putusannya di mana prinsip ini sejalan dengan prinsip yang tercantum dalam Pasal 2 UUPPLH yaitu kehati-hatian (precautionary), keadilan lingkungan (environmental equity), keanekaragaman hayati (biodiversity), dan pencemar membayar (polluter pays principle) dan cerminan semangat progresif dalam menyelamatkan lingkungan.
Penerapan Prinsip in dubio pro natura yang merupakan precautionary principle yang dikemukakan oleh Marko Ahteensuu bukan hal baru karena telah diterapkan sebelumnya juga dalam putusan Mahkamah Agung No. 651K/Pdt/2015 pada Agustus 2015 oleh Majelis Hakim Agung yang diketuai oleh Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H.,LL.M., bersama Hakim Agung I Gusti Agung Sumanatha,S.H.,M.H., dan Dr. Nurul Elmiyah,S.H.,M.H, yang menghukum PT Kalista Alam membayar ganti rugi materiil secara tunai melalui rekening Kas Negara sebesar Rp 114.303.419.000,00 (seratus empat belas miliar tiga ratus tiga juta empat ratus sembilan belas ribu rupiah), menghukum untuk melakukan tindakan pemulihan lingkungan hidup terhadap lahan yang terbakar seluas kurang lebih 1000 hektare dengan biaya sebesar Rp 251.765.250.000, 00 (dua ratus lima puluh satu miliar tujuh ratus enam puluh lima juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) sehingga lahan dapat difungsikan kembali sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Putusan Mahkamah Agung ini menguatkan Pengadilan Negeri Meulaboh dalam putusan Nomor 12/pdt.G/2012/PN.MBO dan putusan banding No.50/PDT/2014/PT.BNA atas gugatan yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam kasus pembakaran lahan di Rawa Tripa Kabupaten Nagan Raya Aceh yang dibakar oleh PT Kallista Alam Tahun 2012.
Berkaca dari beberapa kasus di atas dan kasus-kasus lainnya terkait kebakaran hutan terlihat bahwa dengan mengandalkan penggunaan sarana pidana dalam meminta pertanggungjawaban pelaku pengrusakan atau pencemaran lingkungan hidup baik perorangan maupun badan hukum dengan penjatuhan hukuman badan termasuk denda yang nilainya tidak seberapa dibanding kerusakan lingkungan hidup begitu juga upaya administrasi dengan membekukan sampai mencabut izin lingkungan masih sangat jauh dari harapan untuk dapat mengembalikan kondisi lingkungan hidup yang diharapkan perumus UU.
Penggunaan upaya gugatan khususnya pembakar hutan sudah seharusnya ditempuh oleh setiap orang, organisasi lingkungan hidup yang dirugikan oleh pelaku kerusakan lingkungan termasuk pembakaran hutan apalagi oleh instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup yang telah diberi kewenangan oleh UU untuk mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup baik dengan mengajukan gugatan sendiri atau dengan menggandeng bidang perdata dan tata usaha negara kejaksaan selaku lembaga pemerintah dengan yang diberi kewenangan oleh UU sebagai pengacara negara mengingat besarnya kerugian dan biaya rehabilitasi lingkungan yang ditimbulkan dari kerusakan lingkungan sehingga tujuan penegakan hukum untuk mewujudkan kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem seperti yang diharapkan pembuat UUPLH dapat terwujud. Semoga.