Generasi Z mengacu pada mereka yang lahir pada tahun 1997-2012, di mana mereka merupakan generasi pertama yang memanfaatkan kecanggihan teknologi pertama seperti smartphone dan internet.
Generasi Z ini lebih banyak berhubungan sosial melalui dunia maya dan generasi ini dianggap sebagai generasi yang kreatif. Generasi ini lebih suka dengan kegiatan sosial, menyukai teknologi dan ahli dalam menggunakan teknologi tersebut dan generasi ini mudah terpengaruh terhadap lingkungan.
Generasi Z juga dikenal dengan generasi yang terbuka terhadap media. Dilansir dari laman merdeka.com, generasi Z menghabiskan setidaknya dari bangun tidur hingga menjelang tidur untuk sibuk menjelajahi media sosial. Hal tersebut menyatakan bahwa hampir sehari kita mengamati apa yang sedang terjadi dalam media sosial dalam berbagai Suasana.
Kesehatan mental merupakan kondisi yang dipengaruhi oleh peristiwa kehidupan yang memberikan dampak besar pada kepribadian dan perilaku seseorang. Gangguan ini dapat mengubah cara seseorang dalam menangani stres, interaksi dengan orang lain, memilih, dan hasrat untuk menyakiti diri sendiri.
Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa gejala-gejala depresi dan kecemasan usia 15 mencapai sekitar 6,1% atau setara dengan 11 juta orang. Depresi pada remaja diakibatkan dari beberapa hal seperti aktivitas akademik, bullying, keluarga dan masalah ekonomi.
Menurut penelitian yang dilakukan APA dengan mewawancarai 300 orang dengan rentan usia 15-17 tahun, sekitar 91% generasi Z mengalami gangguan emosional seperti depresi dan gangguan kecemasan.
Saat ini berbagai jenis media sosial yang semakin canggih dan mudah. Oleh karena itu semakin canggih media sosial maka orang-orang akan semakin penasaran terhadap info-info yang ada di media sosial. Berdasarkan laman weare.social, media sosial yang sering digunakan yakni WhatsApp, Facebook, Instagram, TikTok dan Twitter dengan rentang waktu yang berbeda-beda.
Media sosial berfungsi sebagai platform untuk berbagi komentar, mengekspresikan persepsi, hal tersebut dinilai sebagai risiko bagi remaja. Emosional remaja yang masih stabil, saat suasana hati sangat buruk maka hal itu sangat berisiko pada kesehatan mental.
Jika diilustrasikan, saat seorang remaja berumur 17 tahun ingin mengabadikan fotonya pada laman media sosialnya dan saat itu ada yang mengomentari fotonya yang bersifat menjatuhkan kepercayaan dirinya. Secara tidak langsung remaja ini tidak langsung menyalahkan media sosialnya tetapi lebih ke harga diri remaja tersebut karena foto yang ia ambil.
Saat itulah mereka akan merasa kepercayaan dirinya menurun dan memikirkan hal-hal yang tidak-tidak (kehadirannya tidak berarti untuk orang lain). Maka hal-hal yang menyebabkan muncul gangguan Kesehatan mental seseorang seperti depresi bahkan keinginan untuk bunuh diri bisa muncul karena kecemasannya tersebut.
Kedekatan generasi Z dengan teknologi merupakan cara untuk menghindari kehidupan nyatanya dan lebih nyaman pada kehidupan fantasi untuk mengisi waktu atau mengatur emosional (Toronto:2009).
Dan nyatanya hal itu bisa terjadi dan membuat kondisi Kesehatan mental generasi Z menjadi lebih buruk. Meskipun penggunaan media sosial membawa dampak yang buruk bagi pengguna, khususnya pada generasi Z, sebaliknya media juga bisa dapat berdampak positif untuk mengurangi stress. Sifat positif media sosial bisa ditunjukkan pada postingan-postingan yang berbau positif atau menguatkan diri dalam menghadapi gejala gangguan kesehatan mental.
Seperti pada aplikasi TikTok yang saat ini terkenal di banyak kalangan dan menjadikan media ini sangat mudah dan banyak peminat. Tagar #mentalhealth masih menjadi tagar terbanyak pada aplikasi TikTok, sebanyak 5 miliar lebih postingan mengungkapkan hal-hal yang terkait Kesehatan mental. Tidak hanya berisi curhatan seseorang, melainkan edukasi mengenai kesehatan mental juga banyak ditemukan di aplikasi ini.
Setidaknya dalam bermedia sosial kita sebagai generasi Z bisa mencoba berpikir positif dan bisa mempelajari hal-hal mengenai kesehatan mental hanya untuk sebuah pegangan kita dalam mengatasi diri sendiri. Namun gejala-gejala apa saja yang menimpa diri tidak bisa didiagnosis sendiri karena hal itu sangat berbeda, jika salah penanganan akan menimbulkan masalah kesehatan lainnya yang memperburuk suasana hati. Sudah banyak platform media yang menyediakan untuk kita bisa menceritakan apa yang terjadi di diri kita yang tidak biasa.
Jadi, kesehatan mental yang disebabkan media memang nyata adanya. Tidak bisa disepelekan dan sudah menjadi persoalan yang tabu. Mungkin sebagian orang menganggap bahwa orang yang pergi ke psikolog dan psikiater akan dicap sebagai orang gila, padahal hal yang wajar seseorang datang ke tempat tersebut karena tempat tersebut tidak hanya untuk orang gila saja tetapi semua orang.
Pada kutipan pada cover belakang buku karya Baek Se Hee:
Saya takut dipandang aneh.
Kalimat ini kerap dilontarkan orang-orang yang memiliki permasalahan psikologis, tetapi ragu untuk mencari bantuan profesional dan lebih memendam permasalahannya sendirian. (Rerre Adysti, penyintas Bipolar dan Depresi)
Tetapi di era yang modern ini banyak media sosial yang menyediakan layanan konsultasi secara online tanpa disertai perasaan takut. Membaca kalimat-kalimat positif juga membantu untuk membangun suasana positif pada diri.
Medianti Rizky Amalia
-Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)