Restorasi Bumi dan Geliat Politik Hijau

Restorasi Bumi dan Geliat Politik Hijau
Foto udara suasana Desa Waimatan yang ditinggalkan warganya mengungsi akibat tanah longsor di Ile Ape, Kabupaten Lembata, NTT (11/4/2021). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO

Awal tahun 2021, banjir serentak menerjang Jakarta hingga Kalimantan Selatan. Banyak pula daerah di Jawa Barat sampai Jawa Timur terendam banjir. Akhir maret, NTT dan NTB juga disapu banjir bandang. Kerugian materiil, korban nyawa, kerusakan fasilitas publik hingga lumpuhnya denyut nadi ekonomi sangat terasa akibat banjir.

Dalam konteks ini, kita mesti hijrah paradigmatik, dari sekadar mindset ‘bencana alam’ semata menuju haluan politik ekologis. Banjir merupakan konsekuensi logis dari perilaku manusia yang tidak ramah terhadap alam. Maka alam pun ‘marah’ pada manusia.

Ketika daya resapan air menipis, pembalakan liar (illegal logging) dan semarak deforestasi, banjir tinggal menunggu waktu. Bukan hanya banjir, tapi juga resesi ekologis-klimatologis dalam skala masif. Polusi udara dan suhu panas bumi kian menyengat. Penumpukan sampah di laut dan sungai hingga kabut asap yang tak terkontrol.

Tanah longsor dan kekeringan pun memasuki stadium berat. Itulah imbas dari eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang melewati ambang batas. Semua itu adalah implikasi dari kebijakan pembangunan yang meminggirkan keselamatan ekosistem dan hilangnya sense of crisis.

Kuncinya memang restore our earth (pulihkan bumi kita). Itulah relevansi tema Hari Bumi (Earth Day) tahun ini yang diperingati pada setiap tanggal 22 April. Hari Bumi pertama kali berkumandang sejak 1970 sebagai tonggak gerakan lingkungan modern. Restorasi bumi yang bersahutan dengan geliat politik hijau menjadi topik hangat belakangan ini.

Parpol dan Isu Lingkungan

Dalam senjakala bumi terkini, dibutuhkan kesadaran publik dan advokasi ekologis melalui formulasi kebijakan membumi sebagai tapak berpijak. Bukan hanya tanggung jawab negara, tapi juga masyarakat sipil. Bahkan partai politik (parpol) harus didesak keberpihakannya pada penguatan agenda lingkungan hidup, pro bumi (planetary obligation).

Sejumlah parpol mulai bergeliat memerhatikan urgensi politik hijau. Sekurang-kurangnya, PDI-Perjuangan melalui Gerakan Penghijauan dan Gerakan Membersihkan Sungai yang wajib dilakukan oleh seluruh anggota partai. PKB juga membingkai narasi lingkungan dengan meneguhkan diri sebagai ‘partai hijau’.

Belakangan Partai Gelora Indonesia tergerak menjadikan isu lingkungan sebagai agenda perjuangan. Tentu saja kita berharap bukan hanya sekadar berhenti sebatas jargon belaka, namun perlu follow-up dan konkretisasi agenda.

Di sisi lain, lahir pula parpol yang secara spesifik mengusung agenda politik lingkungan hidup. Itulah partai hijau. Connelly dan Smith (2003) menyebutnya environmental politics atau green politics. Tanah gembur demokrasi di Indonesia sangat memungkinkan tumbuhnya partai hijau, meski tantangan elektoralnya sangat besar.

Setiap parpol sebenarnya memiliki platform politik lingkungan, setidaknya termuat dalam dokumen visi-misinya. Tapi manajemen lingkungan yang lebih progresif, fokus dan jangka panjang belum menjadi arus utama. Program lingkungan sekadar terselip di bidang ekonomi dalam visi-misi partai, galibnya tercermin pada ungkapan membangun perekonomian berwawasan lingkungan dan seterusnya.

Keminusan itulah yang barangkali ingin dijawab kemudian diisi oleh partai hijau. Manifesto utama yang diangkat adalah transformasi isu pokok lingkungan hidup dalam birokrasi dan pemerintahan.

Dalam sejarah perjalanan pemilu pasca orde baru, pernah hadir partai beraroma lingkungan di Indonesia. Ada “Partai Hijau” yang bermunculan pada tahun 1998 dan 2012, ditopang oleh Walhi dan Sarekat Hijau Indonesia. Saat ini, partai hijau tampil lagi. Lalu bagaimana prospeknya?

Prospek Partai Hijau

Partai Hijau Indonesia (PHI) yang didirikan sejak 5 Juni 2012 gagal menjadi parpol peserta pemilu 2014, mengingat syarat yang ekstra-ketat. Belum lagi dana kerja-kerja politik teramat mahal. Kini, PHI hadir kembali mencoba berikhtiar untuk mengikuti palagan elektoral 2024. Kongres perdana secara virtual telah digelar di Jakarta pada tanggal 7 Maret lalu.

Sebuah ijtihad politik yang patut diapresiasi. Perjuangan politik bukan hanya sekadar mengibarkan bendera LSM, tapi mengubah dari dalam lewat parpol. Indonesia yang bersih, adil dan lestari yang diusung Partai Hijau tentu atraktif. PHI dengan penuh gairah akan menegakkan prinsip-prinsip politik hijau, seperti kearifan ekologis, keadilan sosial, demokrasi partisipatoris, tanpa kekerasan, keberlanjutan dan penghargaan terhadap keberagaman.

Momentum krisis lingkungan, langit yang memerah dan perubahan iklim dapat menjadi lampu hijau kebangkitan politik hijau. Tapi problemnya, daya kognisi pemilih yang belum memadai dan sengkarut persoalan ekonomi menyebabkan atensi terhadap lingkungan terabaikan.

Namun demikian, manakala pola sosialisasi secara kontinyu disertai pendekatan yang tepat sasaran, maka urgensi isu lingkungan akan menembus jendela otak pemilih. Syaratnya produk politik itu dikemas secara canggih dan terkoneksi dengan aspek sosial yang meliputi pemberdayaan komunitas lokal pengelola SDA, masyarakat hutan adat dan sejenisnya.

Berkaca dari Luar Negeri

Mari sejenak kita tengok kiprah green politics di luar negeri. Sebut saja Partai Hijau Jerman yang sudah tampil sejak 1980-an. Pada pemilu 2019, partai itu mampu mendulang 20 persen suara. Puncaknya, blok partai-partai Hijau di Prancis, Inggris dan negara-negara lain merayakan capaian elektoral dalam pemilu 2019 yang menjadi simpul kekuatan politik strategis di Parlemen Eropa. Sebuah perolehan besar dalam suasana perubahan iklim yang menuai sorotan.

Sedangkan Partai The Australian Greens di Australia turut mengisi kursi parlemen di negeri kangguru itu sejak 1996. Fenomena itu kontras dengan konstelasi politik Amerika Serikat, di mana kandidat presiden dari Partai Hijau hanya meraup 1-3 persen suara. Kisah sukses Partai Hijau tersebut, bisakah diduplikasi di Indonesia?

Pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh publik, seberapa signifikan narasi lingkungan menarik perhatian pemilih. Salah satu branding isu yang dapat diarus-utamakan dalam kampanye politik adalah linkage antara ekonomi dengan lingkungan hidup. Parpol bermazhab green politics mesti merumuskan solusi secara komprehensif apa dan bagaimana strategi menyeimbangkan kelestarian alam dengan kebutuhan ekonomi.

Namun demikian, partai-partai yang memenangkan pemilu di banyak negara bermain pada ‘produk’ ekonomi yang lebih populis. Meskipun dampaknya bisa memanaskan tungku republik, malah jualan politik identitas terhitung cukup menggoda dari segi magnet elektoral. Pandangan Doyle dan McEachern (2008) juga menopang asumsi umum bahwa parpol konvensional dan pemerintah dianggap lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi.

Tantangan kian bertambah di tengah angka ambang batas parlemen yang tinggi. Parpol baru yang bertarung pada pemilu 2019 pun tersingkir, termasuk partai kecil lainnya, gagal menembus ambang batas 4 persen. Pada akhirnya, gerakan politik Partai Hijau tetap menarik kita ikuti perkembangannya ke depan, sejauh mana daya tahan idealisme di tengah struktur sosial politik Indonesia yang berbau kartelisasi oligarkis.

Meski begitu, jika benar-benar berhasil mengikuti Pemilu 2024, maka kehadiran Partai Hijau, setidaknya–memperkaya menu politik bagi masyarakat. Selanjutnya tergantung publik (pemilih). Dan biarkan sejarah yang menjawab. Ketika kesadaran kolektif politik lingkungan hidup mengkristal, maka bukan sesuatu yang mustahil geliat politik hijau turut menyegarkan suhu udara politik di Tanah Air.