Ironi, 51 pegawai KPK yang dinilai banyak pihak berintegritas dan berjiwa antikorupsi akan dipecat per tanggal 1 November 2021 nanti. Alasannya, mereka tidak lulus dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai salah satu syarat alih status menjadi ASN.
KPK berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2019 memang mengharuskan seluruh pegawainya menjadi ASN. Batas waktu peralihan status pegawai tersebut diatur 2 tahun sejak UU diundangkan.
Pemerintah kemudian membuat peraturan nomor 41 Tahun 2020 sebagai turunannya. Dalam dua aturan tersebut tidak diatur tes sebagai syarat alih status. Tetapi, melalui Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021, TWK muncul dan menjegal 75 pegawai.
75 pegawai tersebut melalui SK 652 Tahun 2021 yang ditandatangani oleh Ketua KPK Komjen Pol Firli Bahuri dinonaktifkan. Mereka diminta menyerahkan tanggungjawab pekerjaannya kepada atasannya masing-masing.
Saat itu, nasib mereka masih menggantung, hingga akhirnya KPK bersama dengan BKN dan sejumlah Kementerian serta lembaga melakukan rapat koordinasi.
Hasil rapat tersebut kemudian disampaikan dalam konferensi pers oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Ia menyebut 51 orang yang tidak lulus TWK sudah 'merah' dari segi wawasan kebangsaan dan tidak bisa lagi dibina sehingga tidak bisa bergabung dengan KPK. Sementara 24 lainnya akan dibina, untuk kemudian dites ulang, apakah bisa menjadi ASN atau tidak.
75 orang tersebut kompak menolak pembinaan tersebut, seperti yang disampaikan oleh penyelidik KPK Harun Al Rasyid yang juga merupakan salah satu di antara mereka yang tidak lulus. "Iya, kita sudah sepakat," kata Harun saat dihubungi kumparan beberapa waktu lalu.
Ia juga mempertanyakan penggunaan diksi 'tidak bisa lagi dibina' terhadap 51 pegawai KPK. "Kodrat Tuhan juga yang mereka acuhkan, macam Tuhan aja mereka bisa mengatakan kami tak bisa dibina," kata dia.
Diketahui, 75 nama tersebut berisi orang-orang yang dikenal publik 'galak' terhadap koruptor. Belum lagi ada di antara mereka adalah pejabat-pejabat KPK setingkat eselon 2 hingga 1.
Seperti penyidik senior KPK Novel Baswedan, A Damanik, Yudi Purnomo, Andre Nainggolan, eks Direktur PJKAKI Sujanarko, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi Giri Suprapdiono, Kepala Bagian Perancangan Produk Hukum Rasamala Aritonang, Budi Agung Nugroho, hingga Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi Herry Muryanto.
Beberapa di antara mereka banyak menangani kasus besar, seperti Simulator SIM, kasus Bansos COVID-19, kasus suap eks Menteri KKP Edhy Prabowo, hingga teranyar kasus suap Wali Kota Tanjungbalai.
"ICW mempunyai keyakinan, pasca-pemberhentian puluhan pegawai KPK, penanganan perkara-perkara besar akan berjalan lambat, bahkan tidak menutup kemungkinan bakal dihentikan," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya beberapa waktu lalu.
Rekrut Eks Napi Jadi Penyuluh?
Pemecatan terhadap para punggawa antikorupsi ini semakin dibuat miris di saat KPK sempat berniat merekrut eks napi koruptor menjadi penyuluh. Hal tersebut terlihat saat KPK menyambangi Lapas Sukamiskin Bandung dan Lapas Tangerang beberapa waktu lalu dan bertemu dengan napi yang bebas melalui asimilasi.
Plt juru bicara KPK, Ipi Maryati Kuding, saat itu menjelaskan alasan menggandeng napi korupsi asimilasi sebagai penyuluh lantaran pemberantasan korupsi membutuhkan peran serta seluruh masyarakat, termasuk eks koruptor.
"Pesan yang ingin kami sampaikan adalah bahwa upaya pemberantasan korupsi membutuhkan peran serta aktif seluruh elemen masyarakat. KPK juga memastikan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat dalam pemberantasan korupsi tidak mengenal komunitas ataupun status seseorang. Setiap orang memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam pemberantasan korupsi," kata Ipi kepada wartawan, Kamis (1/4).
Bahkan, Plt Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, sempat menyebut para napi itu merupakan penyintas korupsi. Berikut pernyataannya:
....kebetulan mereka punya pengalaman, punya pengalaman, katakanlah bahasa kita sebagai penyintas, penyintas korupsi. Sehingga diharapkan dengan pengalaman yang mereka dapatkan itu bisa di-sharing kepada masyarakat yang lain, calon-calon yang kita harapkan tidak jadi (korupsi), yang punya niat tapi setelah nanti mendengarkan mungkin beberapa testimoni dari para apa namanya itu, warga binaan ini, dalam bentuk testimoni atau dalam bentuk apa pun juga nanti.
Harapannya adalah pengalaman-pengalaman yang disampaikan itu bisa diterima oleh masyarakat lain. Sehingga diharapkan mereka tidak jadi atau tidak ingin melakukan korupsi, itu salah satunya.
Pernyataan soal penyintas ini banyak menuai kritik. Seperti peneliti ICW Kurnia Ramadhana yang menyebut hal itu cacat logika.
"Ini merupakan cacat logika yang merupakan turunan dari kerusakan dalam alur pikir keseluruhan program kunjungan pencegahan dan sosialisasi antikorupsi ke Lapas Sukamiskin," kata dia, beberapa waktu lalu.
"Salah satu pejabat tinggi KPK justru menyebut para pelaku korupsi itu sebagai penyintas. Padahal korupsi merupakan kejahatan struktural, di mana pelaku utamanya adalah mereka yang saat ini dijebloskan ke Sukamiskin, sementara korban korupsi adalah masyarakat luas," sambungnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM, Zaenur Rohman. Ia mengatakan istilah eks koruptor sebagai penyintas korupsi tidak tepat. Sebab penyintas merupakan korban. Sehingga yang lebih tepat disebut penyintas adalah masyarakat, bukan pelaku korupsi.
"Yang benar penyintas korupsi adalah masyarakat luas yang telah menjadi korban dari tindak pidana korupsi," kata Zaenur.
Sementara itu Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menilai penyebutan eks koruptor sebagai penyintas korupsi sesat pikir dan sesat logika.
"Kalau korupsi, memang kena hukuman korupsi itu dianggap musibah? kan bukan. Jadi bagaimana logikanya dianggap penyintas ini adalah betul-betul sesat pikir sesat logika dan sesat-sesat yang lainnya," kata Boyamin.