Proses memakamkan seseorang menjadi mumi merupakan metode penguburan yang dilakukan pada era Mesir kuno. Tapi enggak hanya Mesir, para biksu di Jepang ternyata mempunyai ritual unik sekaligus ekstrem dengan mengubah dirinya menjadi mumi.
Ya, ritual bernama sokushinbutsu ini merupakan proses mumifikasi diri para biksu Jepang untuk memakamkan dirinya dalam meditasi abadi.
Dilansir Atlas Obsucra, ritual sokushinbutsu merupakan proses panjang dan keras yang mengantarkan para biksu menuju alam kematian. Ritual ini biasa dilakukan oleh sekte Buddha Vajrayana di Jepang yang dikenal dengan Shingon.
Para biksu Shingon akan mengubah tubuh mereka menjadi mumi saat mereka masih hidup agar menjadi sokushinbutsu atau “Buddha dalam daging atau Buddha yang hidup”.
Ritual yang Dilakukan Para Biksu Ribuan Tahun yang Lalu
Orang pertama yang bercita-cita menjadi mumi hidup adalah seorang pria bernama Kukai atau yang dikenal sebagai Kobo Daishi. Mengutip laman Ancient Origin, Kukai merupakan seorang biksu Buddha yang hidup sekitar 1.000 tahun yang lalu.
Selama hidupnya, ia mendirikan sekte baru agama Buddha yang disebut Shingon. Kukai dan para pengikutnya meyakini bahwa kekuatan spiritual dan pencerahan dapat dicapai melalui penyangkalan diri dan gaya hidup asketisme (suatu paham atau ajaran yang meninggalkan kehidupan yang bersifat duniawi dan materi).
Terinspirasi oleh praktik Tantra dari Tiongkok, Kukai memutuskan untuk mengambil gaya hidup asketisme-nya secara ekstrem.
Tujuannya adalah untuk meninggalkan batasan dunia fisik dan menjadi sokushinbutsu. Untuk mencapai ini, Kukai menjalani proses tertentu yang dapat mengubah tubuhnya menjadi mumi saat dia masih hidup.
Prosesi Mumifikasi Diri yang Sangat Keras dan Menyakitkan
Sebelum menjadi mumi, ada tiga tahap panjang yang sangat keras dan menyakitkan yang dilakukan para biksu. Tahap ini sendiri masing-masing berlangsung selama 1.000 hari.
Selama 1.000 hari pertama, para biksu berhenti makan kecuali kacang-kacangan, biji-bijian, buah-buahan, dan beri-berian. Selain itu, mereka juga melakukan aktivitas fisik yang ekstensif untuk menghilangkan semua lemak tubuh.
Selama seribu hari berikutnya, mereka hanya makan kulit kayu dan akar. Menjelang akhir periode ini, mereka akan meminum teh beracun yang terbuat dari getah pohon Urushi, yang menyebabkan mereka muntah dan kehilangan cairan tubuh dengan cepat.
Hal ini juga bertindak sebagai pengawet dan membunuh belatung dan bakteri yang akan menyebabkan tubuh membusuk setelah kematian.
Pada tahap akhir, setelah lebih dari enam tahun persiapan yang menyiksa, para biksu akan mengunci dirinya di dalam kuburan batu yang sangat sempit. Para biksu akan masuk ke sana dalam keadaan melakukan meditasi.
Mereka akan duduk dalam posisi lotus, posisi ini tidak akan berubah sampai mereka meninggal. Sebuah tabung udara kecil juga akan diberikan untuk memberikan oksigen ke makam.
Setiap harinya, para biksu akan membunyikan lonceng untuk memberi tahu bahwa mereka masih hidup. Ketika bel berhenti berdering, tabung itu dilepas dan kuburan disegel selama periode seribu hari terakhir dari ritual tersebut.
Pada akhir periode ini, kuburan akan dibuka untuk melihat apakah para biksu tersebut berhasil membuat dirinya sendiri menjadi mumi.
Jika ditemukan dalam keadaan terawetkan, biksu itu dinaikkan statusnya menjadi Buddha. Jasadnya dikeluarkan dari kubur dan biksu tersebut ditempatkan di sebuah kuil tempat dia disembah dan dipuja.
Namun jika jasad seorang biksu ditemukan telah membusuk, jasad biksu itu kembali dikubur di makamnya dan dihormati karena daya tahannya, tetapi tidak disembah.
Mumifikasi biksu di Jepang ini setidaknya dilakukan hingga abad ke-19. Perlu dicatat bahwa saat itu, pemerintah Jepang menganggapnya sebagai bentuk bunuh diri.
Meski demikian, masih ada orang yang melakukan praktik tersebut, bahkan setelah ada keputusan yang menentangnya.
Kini, ritual ini sudah tidak dianjurkan dan dipraktikkan oleh sekte Buddha mana pun.
Kabarnya, dari ratusan biksu yang mencoba ritual ini hanya 28 biksu yang berhasil mencapai mumifikasi. Biksu-biksu tersebut dapat ditemukan di beberapa kuil di Jepang.
Salah satu yang paling terkenal adalah Shinnyokai Shonin dari Kuil Dainichi-Boo di Gunung Yudono. Yang lainnya dapat ditemukan di Kuil Nangakuji, di pinggiran Tsuruoka, dan di Kuil Kaikokuji di kota kecil Sakata.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)