KPK tetap rencananya melantik pegawai KPK yang lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) menjadi ASN. Meski publik mengkritik TWK yang dinilai bermasalah dan menyebabkan 75 pegawai tak lolos tes.
Dari 75 pegawai, 51 di antaranya disebut sudah tak bisa dibina dan akan dipecat pada 1 November. Sisanya dianggap masih bisa dibina meski tetap tidak ada kepastian akan diangkat menjadi ASN.
Lebih lanjut, KPK mengungkapkan ada sembilan indikator pelabelan 'merah' kepada 51 pegawai itu. Sumber kumparan mengatakan, mereka yang dikategorikan atau diberi label 'merah' akan dipecat.
Beberapa poin indikator tersebut terkait dengan Pancasila, UUD 1945, hingga ideologi, seperti banyak didengungkan oleh pihak KPK hingga BKN. Namun demikian, ada juga sejumlah indikator yang tak banyak disinggung, tetapi rupanya masuk dalam penilaian 'merah'.
Beberapa di antaranya seperti menolak atau tidak setuju atas revisi UU KPK. Mereka yang menyatakan ini langsung masuk dalam list merah. Lainnya, seperti tidak setuju dengan pencalonan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK pada proses seleksi pimpinan 2019-2023.
"Kriteria merah dari Badan Kepegawaian Nasional bagi pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat dan disingkirkan oleh pimpinan KPK, ternyata lebih banyak tentang sikap idealis, integritas, dan kritis," kata sumber tersebut.
"Ketika mereka menjawab akan menentang jika diintervensi kasus yang ditangani atau pekerjaannya oleh Pimpinan KPK, maka masuk kategori merah dan TMS (Tidak Memenuhi Syarat)," sambungnya.
Indikator lainnya seperti 'Akan memilih keluar dari KPK jika harus dipaksa mengikuti keinginan pimpinan atau pemerintah atau intervensi'. Lalu 'Mengakui di KPK ada kelompok Taliban yang dalam menjalankan tugas hanya takut kepada Allah dan kebenaran dan menyetujuinya'.
Terkait indikator-indikator tersebut, Kepala BKN Bima Haria enggan mengonfirmasinya.
"Saya tidak bisa mengkonfirmasi benar tidaknya karena terikat kode etik. Itu kenapa saya selama ini tidak merespons," ucap Bima saat dikonfirmasi kumparan, Minggu (30/5).
Sementara Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron sempat membenarkan bahwa ada 9 poin indikator dalam menentukan pegawai masuk dalam kriteria 'merah'. Hal itu ia sampaikan dalam proses klarifikasi pengangkatan 1 poin indikator dalam rapat bersama BKN dan sejumlah kementerian dan lembaga lainnya pada 25 Mei lalu.
"Kriteria ada hijau ada 6 kriteria, kuning ada 7 kriteria, dan merah 9 kriteria," kata Ghufron kepada wartawan.
Respons Atas Pelabelan Merah kepada 51 Pegawai KPK
Terkait hal ini, pakar hukum tata negara yang juga peneliti PUSaKO Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan indikator semacam itu sangat tidak patut dalam TWK. Ia menilai, hal tersebut adalah persekongkolan jahat terhadap para pegawai KPK.
"Ya pasti tidak patut. Ini persekongkolan jahat antara pimpinan KPK, partai, DPR, pemerintah [BKN dan KemenPANRB]," kata Feri, Senin (31/5).
Feri menduga indikator tersebut merupakan upaya penyingkiran kepada pegawai KPK. Mereka diduga menjadi sasaran dari kepemimpinan Firli Bahuri di KPK.
Beberapa nama yang masuk 75 tidak lulus TWK diduga pernah bersinggungan dengan Firli. Termasuk diduga pernah terlibat pemeriksaan pelanggaran etik pada saat Firli menjadi Deputi Penindakan pada 2018 hingga menolak pencalonan Firli dalam seleksi pimpinan KPK 2019-2023.
"Sedari awal saya sudah sampaikan sebenarnya bahwa 75 orang ini adalah sasaran amarah dan dendam Firli. Jika dari data yang keluar itu jelas pemberhentian 51 orang dan penonaktifan 75 orang berkelindan karena amarah pribadi dan kepentingan partai yang kasusnya ditangani KPK," kata dia.
Sementara itu, penyelidik KPK Harun Al Rasyid yang juga masuk dalam daftar 75 pegawai yang tak lolos tes menilai cara berpikir seharusnya tidak boleh mendapatkan hukuman. Apalagi dalam konteks pemberantasan korupsi yang membutuhkan diskusi secara terbuka.
"Catatan saya hanya agar kita tidak terjebak juga dengan cara pikir yang dibangun, konteksnya bahwa tidak ada pikiran dan diskusi yang bisa dihukum, kecuali atas perbuatan," kata Harun.
"Dan kalau pun logika itu tidak bisa diterima dalam kerangka ASN, bukan pemberantasan korupsi, karena berantas korupsi butuh diskusi terbuka, inovasi, kreativitas yang bersandar pada keberanian dan integritas), ya mau bilang apa, memang tidak cocok jadi PNS," lanjutnya.
Harun kemudian memperlihatkan salah satu nilai profesionalisme dalam Peraturan Dewas Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kode Etik dan Perilaku Insan KPK. Berikut bunyi butir 2 dan 3:
(2) Menolak perintah atasan yang bertentangan dengan prosedur operasional standar (Standard Operating Procedure/SOP) dan norma hukum yang berlaku.
(3) Menghargai perbedaan pendapat dan terbuka terhadap kritik serta saran yang membangun.
"Saya cuma ingat saja sebuah pidato berkelas yang bilang 'pemberantasan korupsi tidak bisa dan tidak mungkin dilakukan dengan sekadar kerja-kerja birokrasi' (Sujanarko, Mei 2021)," kata Harun.
Dukungan untuk 75 Pegawai KPK yang Tak Lolos TWK
Di tengah rencana KPK yang akan tetap melantik pegawai yang lolos TWK, ratusan pegawai menyatakan dukungannya kepada 75 pegawai itu dan meminta pelantikannya ditunda.
Dukungan tersebut dibenarkan oleh Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono. Ia juga termasuk dalam daftar 75 pegawai yang tidak lulus TWK.
"Benar [ada 570 pegawai mendukung]," kata Giri saat dikonfirmasi.
Sementara sumber kumparan di internal KPK mengatakan, mereka yang memberikan dukungan dari semua lini di KPK.
"Dari semua kedeputian dan sekjen, mereka merupakan pegawai tetap KPK," ucap dia, terpisah.
Sumber ini mengatakan, dukungan tersebut masih terus bertambah. Dukungan disampaikan beserta dengan pernyataan dan tanda tangan dari pegawai.
"Dikumpulkan melalui yang dituakan di direktorat atau kedeputiannya. Ada tanda tangan, ada email, ada WA," kata sumber itu.
Dukungan ini bermula saat ada sikap dari 75 orang penyelidik yang lulus TWK mendukung 75 pegawai tidak lulus. Para penyelidik itu mengirimkan surat kepada pimpinan KPK yang salah satu isinya meminta penundaan pelantikan pegawai yang sudah lulus TWK. Surat tersebut tertanda 'Pegawai Direktorat Penyelidikan'.
"Diawali dari penyelidik KPK. Semangat ini menjadi inspirasi kawan-kawan lainnya, solidaritas," kata dia.
77 guru besar dari lintas universitas juga meminta Presiden Jokowi membatalkan agenda pelantikan 1.271 pegawai KPK yang lulus TWK.
"Membatalkan rencana pelantikan pegawai KPK menjadi ASN yang sedianya dilakukan pada tanggal 1 Juni 2021," kata Guru Besar FH UGM, Prof Sigit Riyanto, mewakili 76 guru besar lainnya.
Sigit mengatakan, pemberantasan korupsi saat ini dalam ambang bahaya. Terlebih usai KPK bersama BKN mengumumkan bahwa dari 75 pegawai lembaga antirasuah yang tidak lulus TWK, 51 di antaranya akan dipecat karena disebut sudah tidak bisa lagi dibina.
Padahal, Jokowi sudah memberikan arahan bahwa TWK tidak bisa serta merta menjadi dasar pemecatan para pegawai KPK.
Ia menjelaskan, Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara juga telah memuat bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN. Sehingga dalam lingkup kepegawaian, seluruh pemangku kepentingan harus mengacu pada kebijakan yang diambil oleh Presiden.
"Namun yang terlihat justru sebaliknya, pernyataan Presiden seperti diabaikan begitu saja, baik oleh Pimpinan KPK maupun Kepala Badan Kepegawaian Negara," kata Sigit.