Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan pemimpin Hamas telah menyepakati gencatan senjata pada 21 Mei 2021 lalu. Namun, sebagaimana dipahami, gencatan senjata pada dasarnya merupakan penghentian perang atau serangan sementara. Terlebih konflik berkepanjangan Israel dan Palestina telah berlangsung lama dan memiliki sejarah yang cukup panjang. Memang, gencatan senjata yang disepakati kedua belah pihak tentu diharapkan dapat menurunkan tensi konflik. Meskipun demikian, tetap dibutuhkan dukungan internasional untuk dapat mereduksi potensi terjadinya konflik bahkan kekerasan kembali.
Secara historis, penjajahan Israel atas Palestina sudah dirancang sejak didirikannya gerakan Zionisme tahun 1897 (Kedourie, 2005). Gerakan Zionisme memanfaatkan betul momentum Perang Dunia I dan Perang Dunia II untuk mewujudkan rencana mereka. Sesudah Perang Dunia I, mereka mulai membangun pemukiman di Palestina dan sesudah Perang Dunia II mereka mendeklarasikan negara Israel pada tanggal 14 Mei 1948 (Kramer, 2008). Sejak saat itu hingga kini, wilayah yang tersisa bagi warga Palestina hanyalah Gaza Strip/Jalur Gaza dan West Bank/Tepi Barat, yang meliputi juga East Jerusalem/Yerusalem Timur (termasuk distrik Sheikh Jarrah). Warga Palestina saat ini sudah berkurang wilayahnya hingga tinggal 20% dari sebelumberdirinya Israel. Bahkan, di sisa wilayah ini mereka banyak dipersulit membangun pemukiman atau sebagiannya diambil paksa oleh Israel (White, 2018).
Berkaitan dengan hal-hal tersebut, PPI Dunia mencermati 2 (dua) hal yang menjadi isu utama. Pertama, Konvensi Jenewa No. IV tahun 1949 mengatur perlindungan penduduk sipil dalam situasi perang. Secara khusus, bagian ketiga Konvensi Jenewa No. IV tahun 1949 menjamin hak penduduk sipil di wilayah pendudukan. Dalam kondisi perang, mereka berhak mendapat perlindungan seutuhnya, tanpa diskriminasi, termasuk oleh penguasa pendudukan atau occupying power (United Nations, 1949). Selain itu, penguasa pendudukan juga bertanggung jawab untuk memelihara fasilitas dan institusi yang menjamin hak asasi penduduk sipil. Kedua, aksi yang dilakukan oleh Israel terhadap warga Palestina juga melanggar prinsip humaniter global. Menurut laporan terbaru yang dikeluarkan oleh Human Rights Watch (2021), pendudukan Israel di Palestina dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Merujuk pada Statuta Roma, kejahatan terhadap kemanusiaan dapat diartikan sebagai serangan sistematis yang ditujukan kepada penduduk sipil secara sadar (ICC, 1998).
Dengan berdasarkan pada seluruh pertimbangan di atas, PPI Dunia menyatakan:
1. Mengecam keras serangan yang dilakukan oleh Israel ke Jalur Gaza yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM),
2. Mengecam keras pengusiran paksa yang dilakukan oleh Israel terhadap warga Palestina yang tinggal di distrik Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur yang terjajah, yang melanggar hukum internasional,
3. Mengecam keras tindakan brutal polisi Israel di dalam kompleks Masjid Al-Aqsa yang melanggar asas proporsionalitas penggunaan kekuatan,
4. Mendukung langkah pemerintah Indonesia yang telah memberikan kecaman terhadap agresi dan pelanggaran Israel di wilayah Palestina yang terjajah, khususnya Sheikh Jarrah dan Masjidil Aqsa,
5. Mendukung upaya Pemerintah Indonesia untuk mendesak Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum PBB untuk mengambil langkah nyata terkait pelanggaran HAM yang dilakukan Israel,
6. Mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk aktif membahas krisis ini di tingkat internasional,
7. Mendorong semua elemen masyarakat di Indonesia, tanpa melihat latar belakang apapun, untuk meningkatkan kesadaran dan bersuara untuk Palestina, 8. Mendorong semua pihak untuk menyuarakan pentingnya penguatan solidaritas untuk Palestina antar masyarakat lintas negara, dan
9. Menyerukan kepada seluruh mahasiswa Indonesia di luar negeri untuk bergerak bersama meningkatkan kesadaran mengenai situasi di Palestina dan bersuara untuk Palestina