Mengenal Consent, Garda Terdepan Lawan Pelecehan Seksual

Mengenal Consent, Garda Terdepan Lawan Pelecehan Seksual
Foto via Unsplash

Pernahkah kalian mendengar slogan “no means no”? Jika pernah, mungkin kalian mendengarnya c TikTok atau Twitter. Untuk kalian yang belum pernah mendengarnya, slogan itu menjadi salah satu gerakan anti pelecehan seksual. Slogan “no means no” awalnya dibuat oleh Canadian Federation of Students atau CFS pada kisaran tahun 90-an dengan harapan untuk membangun kesadaran mahasiswa mengenai kekerasan seksual.

Selain slogan itu, ada juga slogan “yes means yes” yang dikembangkan oleh sekelompok perempuan di Perguruan Tinggi Swasta Antioch, Ohio pada tahun 1991. Kedua slogan itu merupakan sebuah ungkapan mengenai consent atau persetujuan yang juga menjadi salah satu cara untuk mengembangkan kesadaran mengenai persetujuan dalam hubungan seksual.

Apa Itu Consent?

Saat ingin berhubungan seksual, persetujuan atau consent dari semua pihak yang terlibat merupakan suatu hal yang sangat penting. Persetujuan harus dilakukan di keadaan di mana semua pihak dalam keadaan sadar dan tanpa adanya tekanan atau ancaman dari pihak lainnya. Jika salah satu pihak dalam pengaruh alkohol dan tetap setuju untuk berhubungan, perlu diingat bahwa mereka sedang dalam keadaan tidak sadar, persetujuan mereka tidaklah valid.

Dalam menanyakan persetujuan, jangan lupa menjelaskan dengan spesifik tentang aktivitas seksual yang akan dilakukan. Jika salah satu pihak menolak untuk berhubungan, keputusan itu harus didengarkan dan dihormati oleh pihak yang lain. Persetujuan juga dapat dibatalkan kapan pun. Jika saat salah satu pihak berubah pikiran dan tidak jadi ingin berhubungan, pilihan mereka harus tetap dihormati dan hubungan seksual dihentikan.

Ungkapan-ungkapan untuk menolak berhubungan memiliki banyak variasi yang perlu kalian sadari. Selain berkata “tidak”, banyak perkataan lainnya yang dapat kalian gunakan untuk mengungkapkan rasa tidak setuju. Antara lain seperti “lain kali saja” atau “aku sedang tidak ingin”. Meskipun terdengar sebagai penolakan secara tidak langsung, kedua contoh itu tetap memiliki arti “tidak”. Jika dilanggar dan hubungan seksual tetap berlangsung, itu sudah merupakan tindakan pelecehan seksual.

Kata "Ya" yang Kompleks

Pernyataan yang menunjukkan setuju untuk berhubungan seksual tentunya dapat diungkapkan dengan "iya". Namun sayangnya, kata "ya" merupakan sebuah hal yang dinilai kompleks. Terkadang, ungkapan persetujuan itu juga dinilai sebagai ambigu.

"Antusiasme, di sisi lain, lebih sulit disalah artikan sebagai hal lain," tulis Gaby Hinsliff, seorang kolumnis the Guardian, dalam artikelnya yang berjudul Consent is not enough: if you want a sexual partner, look for enthusiasm.

Dapat dilihat bahwa sering terjadi salah kaprah dalam mengartikan persetujuan. Ungkapan persetujuan yang paling aman dan tidak ambigu adalah saat salah satu pihak menyatakan setuju dengan berkata “iya” yang disertakan dengan sebuah antusiasme. Nada yang menunjukkan antusiasme salah satu pihak akan mendorong kepastian persetujuannya. Hal ini dikarenakan oleh sebuah hal yang dapat dikatakan sebagai "lebih mudah untuk berkata iya".

Salah satu kasus yang termasuk dalam masalah itu adalah sebuah pengalaman seorang perempuan asal Indonesia yang diberikan nama samaran snowdrop, sebuah bunga mungil indah yang melambangkan harapan. Snowdrop sudah berpacaran sejak SMA. Di awal hubungan, semuanya berjalan baik-baik saja karena ia dan pacarnya memiliki dunia pergaulan yang sama, mereka saling mengerti.

Saat sudah berjalan agak lama, snowdrop tidak menyukai perlakuan pacarnya yang semena-mena, apalagi saat pacarnya mabuk. Ia sudah memiliki keinginan untuk memutuskan hubungan mereka, namun, pacarnya mengejeknya dan bahkan mengancam akan menyebarkan video saat mereka sedang berhubungan. Snowdrop berkata bahwa ia hanya bertemu dengan pacarnya saat dia sedang ingin berhubungan saja meski terkadang, Snowdrop tidak sedang ingin berhubungan.

“Gue juga kadang gak pengin, tapi, ya udah terima aja,” cerita Snowdrop saat diwawancara pada Maret lalu.

Kasus Snowdrop merupakan sebuah contoh dari “gray zone sex” atau “zona abu-abu seks”, julukan yang diberikan oleh Jessica Bennett, seorang penulis dan editor The New York Times.

Zona abu-abu itu adalah saat di mana lebih mudah mengatakan iya untuk berhubungan seks daripada berkata tidak. Ini menyebabkan munculnya sebuah pertanyaan: "Apakah 'ya' yang dimaksud adalah benar berarti 'ya' atau sebenarnya berarti 'tidak'?"

Meski adanya zona abu-abu tersebut, “ya” masih merupakan ungkapan terbaik yang menyatakan sebuah persetujuan saat akan berhubungan seksual.

“Kadang-kadang 'iya' berarti 'tidak' hanya karena lebih mudah untuk menjalaninya daripada menjelaskan alasan menolaknya,” tulis Jessica dalam tulisannya yang berjudul When Saying ‘Yes’ Is Easier Than Saying ‘No’.

Consent Sebagai Senjata Melawan Pelecehan Seksual

Tau gak sih? Pada Maret lalu, Komnas Perempuan mengeluarkan Catatan Tahunan yang melaporkan tentang jumlah kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 di Indonesia. Dalam laporan itu, Komnas Perempuan menemukan 299.911 kasus. Dari jumlah kasus yang ditemui itu, lembaga layanan mitra Komnas Perempuan menangani 8.234 kasus. Dari angka yang besar itu, ada 1.983 kasus pelecehan seksual dalam ranah rumah tangga dan 962 kasus dalam ranah publik. Bukan angka yang sedikit kan?

Ada sebuah cara termudah untuk menekan angka pelecehan seksual, khususnya di Indonesia, yaitu dengan memberikan pendidikan seksual. Lho, mengapa khususnya di Indonesia? Sepertinya bukan suatu hal yang dapat dibantah bahwa pendidikan seksual di Indonesia masih sedikit.

Hal ini didukung dengan sebuah riset yang dilakukan oleh Durex Indonesia pada tahun 2019 yang menunjukkan bahwa 84% remaja berusia 12-17 tahun tidak mendapatkan pendidikan seksual. Terlihat jelas dari data tersebut, pendidikan seksual di Indonesia masih minim padahal pencegahan melalui edukasi merupakan langkah penting dalam membantu menekan angka pelecehan seksual.

Nah, setelah penjelasan mengenai consent di atas, terbukti bahwa menyertakan edukasi mengenai consent dalam pendidikan seksual bukanlah sebuah ide yang buruk. Mengapa? Karena pengetahuan mengenai consent adalah sebuah senjata ampuh untuk membantu menekan angka pelecehan seksual. Dengan memahami dan mempraktikkan consent dalam hubungan, semua pihak yang terlibat akan dapat saling mengerti, memahami, dan menghormati batasan yang dibuat oleh pasangan mereka. Yuk, mulai mempraktikkan consent dalam hubungan dengan pasangan kita agar hubungan tetap sehat!