Mengenakan kaus hitam bertuliskan 'Berani Jujur Pecat', penyidik senior KPK Novel Baswedan, Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap, hingga Ketua YBLHI Asfinawati, menyambangi Komnas HAM. Kedatangan mereka untuk melaporkan penyelenggaran Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang bermasalah dan dinilai melanggar HAM.
"Saya ingin sampaikan bahwa kami akan menggunakan apa yang diberikan hukum untuk menjaga harkat martabat kami, dalam rangka itulah hari ini kami memberikan pengaduan kepada Komnas HAM karena setidaknya kami lihat ada kira-kira 8 hal yang bersifat pelanggaran pada HAM dan harkat martabat kami sebagai pegawai KPK," kata pegawai KPK Hotman Tambunan di Komnas HAM, Senin (24/5).
Hotman merupakan salah satu pegawai yang tidak lulus TWK bersama dengan 74 pegawai lainnya. Hotman merupakan Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Internal KPK.
Dengan laporan ini, Hotman meminta tidak ada lagi stigma-stigma radikalisme atau lainnya yang menyatakan pegawai KPK tidak Pancasilais karena tak lulus TWK. Sebab, TWK dinilai bermasalah bahkan melanggar HAM oleh para pegawai KPK itu.
Novel Baswedan yang turut hadir menambahkan bahwa TWK merupakan tindakan sewenang-wenang terhadap pegawai KPK. Bahkan ia meyakini hal tersebut termasuk pelanggaran HAM.
Hal itu tak terlepas dari sejumlah pertanyaan dalam TWK yang malah menyasar ranah pribadi.
"Banyak hal yang berhubungan dengan hal-hal yang menyerang kepada privasi, kepada hal-hal yang bersifat seksual dan masalah beragama. dan itu sangat tidak pantas dilakukan dan itu berbahaya sekali," ungkap Novel.
Terima Laporan 75 Pegawai KPK, Komnas HAM Langsung Bentuk Tim Usut TWK
Komnas HAM menerima laporan dari 75 pegawai KPK terkait pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Sebuah tim pun dibentuk guna mengusut Tes Wawasan Kebangsaan sebagai bagian dari tindak lanjut adanya laporan tersebut.
Laporan para pegawai KPK itu diwakili oleh beberapa orang, termasuk Sujanarko, Novel Baswedan, hingga Yudi Purnomo. Turut hadir pula Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menyebut ada sejumlah dokumen yang diserahkan para pelapor dalam laporan mereka. Para pelapor pun sudah menjelaskan garis besar mengenai TWK.
"Kami menerima pengaduan ini, di kami akan membentuk sebuah tim di bawah (divisi) pemantauan dan penyelidikan," kata Choirul Anam kepada wartawan, Senin (24/5).
Menurut dia, dokumen yang diserahkan cukup banyak memuat informasi. Tim akan mempelajari dokumen-dokumen yang di dalamnya termasuk juga sejumlah catatan serta instrumen hukum terkait TWK.
Choirul Anam menyebut Komnas HAM serius melihat polemik ini. Sebab, hal ini dinilai bagian dari upaya Komnas HAM dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Novel Baswedan: Kalau TWK Tak Ditindak Serius, Bisa Terjadi di Lembaga Independen Lain
Penyidik Senior KPK Novel Baswedan mendesak agar permasalahan adanya Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dan juga substansi di dalamnya diusut tuntas. Sebab, kata dia, bila tidak, bisa jadi akan terulang terhadap lembaga independen lainnya selain KPK.
Diketahui, TWK menjadi syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN. Padahal itu tak ada di dalam UU KPK Nomor 19 Tahun 2019, begitu juga Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020. TWK hanya ada di Peraturan Komisi KPK Nomor 1 Tahun 2021 yang diteken Firli Bahuri.
Hal itu menjadikan TWK dinilai bermasalah dari segi hukum. Belum lagi substansi pertanyaan dalam tes yang dinilai jauh dari tupoksi KPK dan dianggap melanggar HAM.
"Pola-pola demikian kalau tidak dilihat sebagai hal serius, tidak dilaporkan untuk mendapatkan pengusutan sebagaimana mestinya, maka pola seperti ini bisa terjadi lagi pada lembaga independen lain di Indonesia," kata Novel di Komnas HAM, Senin (24/5).
Pegawai KPK yang Lulus TWK Dukung Novel Baswedan Dkk, Tolak SK Firli Bahuri
Perjuangan para pegawai KPK yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) mendapat dukungan dari sejumlah pihak. Tak terkecuali dari para rekan mereka sesama pegawai KPK yang lulus tes tersebut.
Mereka yang tidak lulus TWK berjumlah 75 orang itu terdiri dari sejumlah pihak, dari fungsional hingga deputi. Sejumlah nama masuk dalam daftar 75 pegawai itu yakni dua direktur Sujanarko dan Giri Suprapdiono, Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo, serta penyidik senior KPK Novel Baswedan dan beberapa Kasatgas Penyidikan lain.
Saat ini, mereka sudah dibebastugaskan berdasarkan SK yang diteken Ketua KPK Firli Bahuri. Para pegawai itu diminta menyerahkan tugas dan tanggung jawab mereka tanpa ada kejelasan waktu.
Kini, mereka sedang melakukan perlawanan dengan melapor ke sejumlah pihak. Mulai dari Dewas KPK, Ombudsman, hingga Komnas HAM.
Dukungan pun datang dari para pegawai tetap KPK yang lulus TWK. Mereka merupakan pegawai tetap yang merupakan hasil seleksi superketat KPK bernama Indonesia Memanggil. Mereka berasal dari beberapa angkatan, mulai dari Indonesia (IM) I sampai dengan VII.
Berdasarkan keterangan yang diterima kumparan, Senin (24/5), mereka menyatakan sikapnya terkait hal ini. Salah satunya menolak SK Nomor 652 Tahun 2021 yang membuat 75 pegawai KPK menjadi nonjob.
"Kami menolak keberlakuan Surat Keputusan (SK) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 652 Tahun 2021 tertanggal 7 Mei 2021 tersebut di atas dikarenakan Surat Keputusan tersebut kami anggap tidak memuat ketentuan perundangan yang lengkap dan perintah yang tercantum di dalamnya pun tidak dikenal dalam ketentuan kepegawaian KPK," bunyi pernyataan sikap mereka.
Selain itu, mereka juga mengingatkan pimpinan KPK untuk mematuhi amanat Undang-Undang dalam hal alih status pegawai menjadi ASN. Yakni merujuk pada UU Nomor 19 Tahun 2019, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020, serta Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 70/PUU-XVII/2019 yang telah dibacakan pada tanggal 04 Mei 2021.
Dalam UU dan PP diketahui tidak memuat soal adanya TWK. Ketentuan TWK baru diatur dalam Peraturan KPK yang diteken Firli Bahuri.
Sementara putusan MK menegaskan bahwa peralihan status menjadi ASN tidak boleh merugikan hak pegawai KPK.
"Kami meminta kepada Dewan Pengawas KPK untuk segera melakukan pemeriksaan terhadap para pihak yang terlibat dalam penerbitan Surat Keputusan Pimpinan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku," bunyi salah satu poin sikap mereka.
"Kami menegaskan bahwa sampai dengan saat ini, beragam upaya penghentian kegiatan pemberantasan korupsi telah berulang kali dilakukan oleh berbagai pihak dengan beragam cara, oleh karenanya saat ini kami akan tetap melaksanakan perintah Undang-Undang untuk tetap melaksanakan pemberantasan korupsi di Indonesia," poin lain dari sikap pegawai KPK itu.
Tindakan Sewenang-wenang Oknum Pimpinan KPK Berefek Langgar HAM
Novel mengatakan bahwa permasalahan TWK ini berpangkal kepada tindakan oknum pimpinan KPK. Sebab, tes alih status pegawai KPK menjadi ASN, tidak tercantum adanya tes sebagai salah satu syaratnya.
"Kami laporkan terkait dengan tindakan oknum pimpinan KPK, bahwa ada tindakan sewenang-wenang yang dilakukan dengan sedemikian rupa, yang efek kesewenang-wenangan tersebut banyak pelanggaran HAM yang terjadi itu," kata Novel di Komnas HAM, Senin (24/5).
Beberapa contoh permasalahan dalam TWK adalah adanya substansi tes yang menyerang privasi. Bahkan beberapa di antara pertanyaan itu menyangkut agama hingga bersifat seksualitas. Hal ini, kata Novel, melanggar HAM.
"Tadi banyak hal yang berhubungan dengan hal-hal yang menyerang kepada privasi, kepada hal-hal yang bersifat seksual dan masalah beragama, dan itu sangat tidak pantas dilakukan dan itu berbahaya sekali," ucapnya.
Usut TWK Pegawai KPK, Komnas HAM Ingatkan Firli Bahuri Dkk untuk Kooperatif
Komnas HAM langsung bergerak cepat dengan membentuk tim guna mengusut Tes Wawasan Kebangsaan usai mendapat laporan dari pegawai KPK. Sejumlah pihak pun diwanti-wanti untuk kooperatif dengan kerja tim dalam melakukan penyelidikan, termasuk pimpinan KPK Firli Bahuri dkk.
"Kita minta supaya semua lembaga, termasuk pimpinan KPK bekerja sama, terbuka, memberikan info, bekerja sama dengan Komnas HAM," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam kepada wartawan usai menerima laporan pegawai KPK, Senin (24/5).
Komnas HAM berharap Presiden Jokowi memerintahkan jajarannya, termasuk menteri terkait, untuk kooperatif dalam proses penyelidikan tim tersebut.
"Kasus ini menjadi tolok ukur ke depan bangsa ini soal kasus korupsi, apakah akan menjadi negara yang lebih baik atau menjadi negara yang semakin lama semakin merosot dari korupsinya. Jadi taruhannya itu. Makanya kami minta kepada Pak Presiden untuk memberikan atensi pada kasus ini dan minimal memerintahkan ke semua pihak di bawah Beliau untuk mau terbuka dan transparan kepada Komnas HAM. Jadi jangan halang-halangin," papar Anam.
8 Poin Laporan 75 Pegawai KPK ke Komnas HAM: Diskriminasi-Pelanggaran HAM
Kuasa hukum 75 pegawai KPK, Asfinawati, mengatakan setidaknya ada 8 poin yang mendasari laporan tersebut. Ketua YBLHI itu pun membeberkan, semua poin itu sudah disampaikan kepada komisioner Komnas HAM. Termasuk pertanyaan-pertanyaan dalam TWK yang bermasalah.
"Jadi pertanyaan-pertanyaan yang sudah beredar di media itu sebetulnya terkait pikiran, dan pikiran itu dalam HAM tidak bisa dibatasi sama sekali," kata Asfinawati di Gedung Komnas HAM, Senin (24/5).
Poin pertama yang dilaporkan oleh para pegawai adalah adanya dugaan pelanggaran HAM dalam penyelenggaraan TWK. Asfinawati mengatakan, TWK adalah kedok di balik pembatasan pemikiran dari pegawai KPK.
Kedua, Asfinawati menilai ada ketidakadilan dalam hubungan kerja. Contohnya ada pertanyaan-pertanyaan tendensius dalam TWK. Asfinawati juga menyinggung soal pertanyaan serupa ditanyakan kepada pegawai lain, tetapi mereka lulus.
"Jadi sebetulnya bukan penilaiannya bukan dari tes ini," kata Asfinawati, menduga.
Ketiga, juga ada pelanggaran terhadap hak berserikat dan berkumpul yang turut dilaporkan. Ia menyinggung, upaya tersebut sudah dimulai terhadap Wadah Pegawai KPK pada 2019 lalu melalui revisi UU KPK.
"Sejak 2019 atau sebelumnya teman-teman WP ditarget dan itu ramai sekali ketika ada revisi UU KPK, meski revisi UU KPK tidak ada tentang TWK, tapi ternyata nyaris hampir seluruh pengurus ini dinyatakan tidak lulus," sambungnya.
Keempat, pelanggaran terhadap pembela HAM juga dilaporkan ke Komnas HAM. Sebab, Novel Baswedan sempat dinyatakan sebagai pembela HAM oleh Komnas HAM di kasus penyiraman air keras. Kini ia jadi korban dari TWK.
Kelima, pelanggaran terhadap hubungan kerja yang adil di pekerjaan. Sebab 75 pegawai KPK tersebut dinonaktifkan tetapi dengan dasar hukum yang tidak jelas. Hak dan kewajibannya pun tidak diatur secara jelas.
Keenam, adanya diskriminasi terhadap perempuan. Asfinawati mengatakan adanya upaya tersebut dalam pelaksaan TWK dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan pihak perempuan. Bahkan, kata dia, ada pegawai KPK yang sampai menangis saat tes itu.
"Banyak sekali pertanyaan yang bersifat pelecehan seksual, dan ada pegawai KPK yang perempuan sampai menangis dalam tes itu karena dikejar persoalan personal," ucapnya.
Ketujuh, ada stigma yang melekat ke 75 pegawai KPK. Adanya pelekatan ekstrim kanan atau kiri terhadap pegawai tersebut, salah satunya dengan isu Taliban, menciderai HAM para pegawai. Sebab, dinilai juga hal ini bisa mempengaruhi kehidupan hak sosial pegawai dan keluarganya.
Kedelapan, ada tendensi pelanggaran terhadap hak kebebasan berpendapat. Asfinawati mengatakan, bila dibedah lebih jauh, terhadap sejumlah klaster dalam 75 pegawai KPK. Salah satunya adalah mereka yang pernah bersinggungan dengan Ketua KPK Firli. Seperti membuat petisi penolakan pelanggar HAM jadi Ketua KPK hingga menjadi saksi di sidang JR UU KPK di MK.
"Artinya profilnya mereka ini adalah orang-orang yang kritis. Kita sudah dengar misalnya dari Pak Sujanarko dari berbagai kesempatan. Kerja di KPK ini berbeda, yang utama itu bukan yang nurut pada atasan misalnya atasan yang korup, tapi keutamaan pegawai KPK itu bisa memberantas korupsi dengan menjaga independensi," kata Asfinawati.
"Karena itu perbedaan terhadap pendapat adalah hal yang biasa dan bahkan diperbolehkan dalam kode etik, dan tes TWK ini ada kaitan dan bertentangan dengan pemberantasan korupsi," pungkasnya.
5 Poin Pernyataan Sikap Pegawai KPK Lulus TWK: Dukung Novel Baswedan Dkk
Terdapat lima poin pernyataan sikap mereka para pegawai KPK tersebut. Berikut pernyataan lengkap mereka:
Pernyataan Sikap Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Menyikapi dinamika Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang berakibat diterbitkannya Surat Keputusan (SK) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 652 Tahun 2021 Tentang Hasil Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai Yang Tidak Memenuhi Syarat Dalam Rangka Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara tertanggal 7 Mei 2021, berisikan pernyataan bahwa beberapa rekan kami sesama Pegawai KPK dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk beralih menjadi Aparatur Sipil Negara sebagai Perintah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 disertai perintah agar rekan-rekan kami dimaksud agar segera menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya kepada atasan masing-masing, bersama ini kami menyampaikan pernyataan sikap sebagai berikut:
-
Kami menolak keberlakuan Surat Keputusan (SK) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 652 Tahun 2021 tertanggal 7 Mei 2021 tersebut diatas dikarenakan Surat Keputusan tersebut kami anggap tidak memuat ketentuan perundangan yang lengkap dan perintah yang tercantum didalamnya pun tidak dikenal dalam ketentuan kepegawaian KPK.
-
Kami meminta kepada Pimpinan KPK agar mengikuti amanat perundangan untuk mengalihkan status kepegawaian seluruh Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap KPK menjadi Aparatur Sipil Negara sebagaimana Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 serta Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 70/PUU-XVII/2019 yang telah dibacakan pada tanggal 04 Mei 2021.
-
Kami meminta kepada Dewan Pengawas KPK untuk segera melakukan pemeriksaan terhadap para pihak yang terlibat dalam penerbitan Surat Keputusan Pimpinan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
-
Kami menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Joko Widodo selaku Presiden Republik Indonesia yang telah menegaskan bahwa proses peralihan Pegawai KPK menjadi bagian dari Pegawai Aparatur Sipil Negara seharusnya mentaati amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 serta Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 70/PUU-XVII/2019.
-
Kami menegaskan bahwa sampai dengan saat ini, beragam upaya penghentian kegiatan pemberantasan korupsi telah berulang kali dilakukan oleh berbagai pihak dengan beragam cara, oleh karenanya saat ini kami akan tetap melaksanakan perintah Undang-Undang untuk tetap melaksanakan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Demikian pernyataan ini Kami sampaikan.
Jakarta, Mei 2021
tertanda
Pegawai Tetap KPK
(Indonesia Memanggil 1 sd. 12)